Kitabad-Durrah al-Mudhiy’ah fima Waqa’a fihi al-Khilaf baina Syafi’iyyah wa al-Hanafiyyah. Kitab ini membahas tentang perbedaan pendapat di antara mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Kitab at-Tuhfah fi Ushul al-Fiqh. Sayangnya, kitab ini hilang dari sejarah. Kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh.
Sebelumnya telah dibahas tentang tiga sebab yang membuat para ulama berbeda pendapat, yakni perbedaan qira’at bacaan Al-Qur’an, kuantitas hadits yang diketahui, dan keraguan atas kesahihan hadits. Berikut ini adalah tiga sebab berikutnya yang—sebagaimana penjelasan terdahulu—juga kian menunjukkan kedalaman wawasan mereka, kuatnya argumentasi yang mereka bangun, dan karenanya perbedaan di antara mereka adalah hal yang sangat bisa dimaklumi. Sebab keempat adalah, perbedaan dalam memahami dan menafsiri teks. Sebagaimana diketahui, teks Al-Qur’an dan Hadits tidak disajikan dalam bentuk satu tipe saja, melainkan dalam banyak tipe. Ada teks yang qat’iyyud dalâlah, dan ada teks yang dzanniyyud dalâlah. Teks qat’iyyud dalâlah yaitu teks yang ungkapan kata-katanya menunjukkan makna dan maksud tertentu dengan tegas dan jelas sehingga tidak mungkin difahami makna lain, seperti macam-macam ukuran dan takaran. Sedangkan teks dzanniyyud dalâlah adalah teks yang ungkapan kata-katanya memiliki banyak makna dan mengandung multi penafsiran. Akibatnya, ulama berbeda dalam menentukan makna yang paling tepat menurut keyakinan masing-masing. Perbedaan dalam menentukan makna yang tepat mengakibatkan perbedaan dalam hukum fiqih. Hamad bin Hamdi Al-Sha’idi, Asbâbu Ikhtilafil Fuqahâ fil Furu’il Fiqhiyyah, Madinah Universitas Islam Madinah Press, 2011, hal 82-83. Dalam surat Al-Baqarah ayat 228, Allah subhanahu wataala berfirman وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri menunggu tiga kali quru'” Ayat tersebut menjelaskan bahwa iddah perempuan yang dicerai suaminya, dan masih dalam usia menstruasi adalah tiga quru’. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna quru’. Aisyah, Ibnu Umar, dan Zaid bin Tsabit mengartikannya suci, sedangkan Abu Bakar, Umar, Ali, Usman, dan mayoritas sahabat mengartikannya haid. Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad – dalam satu riwayat – memilih pendapat pertama, yaitu quru’ berarti suci. Sedangkan Abu Hanifah memilih pendapat kedua, yaitu quru’ bermakna haid. Perbedaan ini memiliki dampak yang cukup signifikan dalam hukum Islam, terutama dalam dua masalah, yaitu pertama, waktu selesainya iddah. Berdasarkan pendapat pertama, perempuan yang dicerai akan habis masa iddahnya ketika ia memasuki masa haid ketiga. Sebab, ia telah melewati tiga kali masa suci, yaitu masa suci di mana ia dicerai, masa suci antara haid pertama dan kedua, serta masa suci antara haid kedua dan ketiga. Sedangkan, berdasarkan pendapat kedua, masa iddahnya akan selesai ketika ia memasuki masa suci keempat. Kedua, kebolehan menikah. Berdasarkan pendapat pertama, perempuan yang dicerai boleh menikah dengan laki-laki lain saat ia memasuki masa haid ketiga. Sedangkan, berdasarkan pendapat kedua, ia baru boleh menikah setelah memasuki masa suci keempat. Kelima, pertentangan antardalil. Dalam sebuah permasalahan, tidak jarang terdapat banyak dalil yang kadang terlihat saling bertentangan, seperti dalam masalah batalnya wudhu sebab menyentuh kemaluan dzakar, di mana ada dua hadits yang saling bertentangan. Hadits pertama adalah hadits riwayat Basrah binti Shafwan bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّي حَتَّى يَتَوَضَّأَ “Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka dia tidak boleh melakukan shalat sampai dia berwudhu.” HR. Ahmad dan Tirmidzi. Sedangkan hadits kedua adalah hadits riwayat Thalq bin Ali أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ هَلْ هُوَ إِلَّا بِضْعَةٌ مِنْكَ “Bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam ditanya tentang hukum laki-laki yang menyentuh kemaluannya saat sedang shalat, lalu beliau menjawab Bukankah ia hanya bagian dari tubuhmu.” HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Nasa’i. Ulama mazhab Syafi’i, Hambali, dan Maliki memilih hadits pertama, sehingga mereka menyatakan bahwa menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu. Sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya berpegangan pada hadits kedua dan menegaskan ketidakbatalan wudhu karena menyentuh kemaluan. Begitu pulaterkait hukum sperma; suci atau najis? Ulama mazhab Syafi’i, Hambali, dan para ulama hadits mengatakan bahwa sperma hukumnya suci. Jika ia terkena pakaian maka shalat seseorang tetap dihukumi sah sekalipun pakaian tersebut belum dicuci atau sperma tersebut belum digosok. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَذْهَبُ فَيُصَلِّي فِيهِ “Dari Aisyah, ia berkata Aku pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, lalu ia pergi, kemudian ia shalat dengan pakaian itu. HR Jama’ah, kecuali Bukhari.” Sementara ulama mazhab Hanafi dan Maliki menegaskan bahwa sperma hukumnya najis. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كُنْتُ أَغْسِلُ الجَنَابَةَ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ، وَإِنْ بَقَعَ الْمَاءُ فِي ثَوْبِهِ “Dari Aisyah radiyallahu anha Aku pernah mencuci mani yang terdapat di baju Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam, beliau keluar untuk melaksanakan shalat dalam keadaan bekas cucian masih tampak dipakaian.” HR. Bukhari. Musthafa Said al-Khin, Atsarul Ikhtilaf fil Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtilafil Fuqaha, Beirut Al-Resalah, cet. 7, 1998, hal 70-109. Keenam, perbedaan kaidah istinbat hukum. Para ulama mazhab memiliki kaidah istinbat hukum masing-masing. Misalnya, mazhab Hanafi menggunakan metode Istihsan, sedangkan mazhab syafi’i tidak menggunakannya. Mazhab Maliki mengadopsi tradisi penduduk Madinah amalu ahlil Madinah, sementara mazhab lain tidak memakainya. Perbedaan kaidah ini menyebabkan perbedaan pendapat mereka dalam hukum Islam. Contohnya, hukum jual beli mu’athah. Jual beli Mua’thahdilaksanakan dengan cara barteran antara penjual dan pembeli, di mana penjual memberikan barang kepada pembeli, dan pembeli memberikan uang kepada penjual, tanpa menyebutkan kata ijab dan qabul. Menurut imam Ahmad bin Hambal, ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i, jual beli mu’athah hukumnya sah. Mereka beralasan bahwa Allah SWT menghalalkan jual beli secara mutlak tanpa menjelaskankan tata caranya. Oleh sebab itu, tata cara jual beli tersebut dikembalikan kepada tradisi urf masing-masing masyarakat. Sedangkan menurut sebagian ulama mazhab Syafi’i, jual beli mu’athah tidak sah karena syarat sah jual beli adalah keridhaan kedua belah pihak, sementara rasa ridha tidak bisa diketahui kecuali dengan adanya ijab dan qabul. Imam al-Kurkhi dari mazhab Hanafi mensyahkan mu’athah dengan syarat objek jual-beli merupakan sesuatu yang tidak besar dan dianggap remeh. Musthafa Dibul Bugha, Atsarul Adillah al-Mukhtalafu fiha fil Fiqhil Islami, Damaskus, Darul Imam al-Bukhari, hal 284-287. Menurut penulis, pendapat pertama merupakan pendapat yang kuat dan sesuai dengan realitas tradisi masyarakat sekarang, di mana seorang pembeli tidak harus bertransaksi langsung dengan penjual, melainkan pembeli cukup membayar sejumlah nominal uang yang biasanya tertera di barang kepada kasir. Begitu pula dengan kelaziman yang terjadi dalam jual-beli di warung makan; pembeli biasa memesan makanan terlebih dahulu, lalu memakannya tanpa bertanya harga barang pesanan itu, baru kemudian membayarnya. Bahkan lebih canggih dari itu, di beberapa tempat telah berlaku penjualan minuman mekanik. Hanya dengan memasukkan koin atau uang dengan besaran tertentu ke dalam kotak, muncullah minuman yang diinginkan. Karenanya, tradisi-tradisidalam transaksi modern seperti ini layak untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan sebuah hukum, sebagaimana kaidah fikih berbunyi اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ “Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.” اَWallahu A’lam. Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang. pengambilanhukum Imam Malik adalah al-Qur`an, sunnah, amal ahl Madinah, qiyas dan maslahah mursalah. Ketiga, mazhab Syafi’i. Mazhab ini dinisbahkan kepada imam Syafi’i. Nama lengakap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 Hijriyah di Madinah dan meninggal dunia pada tahun 203 Hijriyah di Mesir.Di antara tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat mazhab ituadalah Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad masih utuh tegak berdiri dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas muslimin di muka bumi. Masing-masing punya basis kekuatan syariah sertamasih mampu melahirkan para ulama besar di masa sekarang sekelumit sejarah keempat mazhab ini dengan sedikit gambaran landasan manhaj oleh An-Nu’man bin Tsabit 80-150 H atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa, Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin tabi’utabiin, sebagian ahli sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’ Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupasmasalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antaralatar belakangnya adalah* Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlihuntuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yangpunya dalil nash syar'i.* Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah danbermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imamAl-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti kemudian hari, metodologi yang beliau perkenalkan memang sangat berguna buat umat Islam sedunia. Apalagi mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat jauh ke seluruh penjuru dunia. Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber syariah Islam. Metodologi mazhab ini menjadi sangat menentukan dalam dunia fiqih diberbagai Mazhab Al-MalikiyahMazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi 93 – 179H.Berkembang sejak awal di kota Madinah dalam urusan ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran, As-Sunnah dengan lima rincian dari masing-masing Al-Quran dan As Sunnah; tekstualitas, pemahaman zhahir, lafaz umum, mafhum mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal illah, Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah perbuatan penduduk Madinah, perkataan sahabat, istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar'u man qablana syariat nabi terdahulu.Mazhab ini adalah ke balikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru 'kebanjiran' sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di manapenduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para Mazhab As-Syafi'iyahDidirikan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i 150 – 204 H. Beliau dilahirkan di Gaza Palestina Syam tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat diMesir tahun 203 Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya madzhab qodim. Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru madzhab jadid. Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul 'ilm di akhir bulan Rajab 204 satu karangannya adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’iadalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra'yi Al-Hanafiyah dan fiqh ahli hadits Al-Malikiyah.Dasar madzhabnya Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau jugatidak mengambil Istihsan menganggap baik suatu masalah sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. ImamSyafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan, ”Imam Syafi’i adalahnashirussunnah pembela sunnah, ”Kitab “Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari ImamSyafi’i. Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi’ Jizii binSulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya, ”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia hadis adalah madzhabku,dan buanglah perkataanku di belakang tembok, ”4. Mazhab Al-HanabilahDidirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani 164 – 241 H. Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak mustaqil. Gurunya sangat banyak hingga mencapai ratusan. Iamenguasai sebuah hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari 104 –183 H.Imam Ahmad adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Imam Syafi’i berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir, ”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah sayatinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal Imam Ahmad, ”Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’.Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban ataspertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat lebih hadis. Beliau memiliki kukuatan hafalan yangkuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal w 266 H anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal 213 – 290 H. Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad w 273 H, Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran w 274 H, Abu Bakr Al-Khallal w 311 H, Abul Qasim w 334 Hyang terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Allohumma Wa Bihamdika Asyhadu Allaa Ilaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa Atubu khoiron katsiiroo 'ala kulli haal
PERANPERHIMPUNAN ALKHAIRAAT DALAM MEMPERKUAT MAZHAB SYAFI’I DI KOTA PALU. mohammad. 10-24. PDF. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI SUNTIK TIGA BULAN STUDI KASUS DI DESA SAMARENDA KABUPATEN MOROWALI. risnawati. 25-53.Para santri tingkat awal belajar fiqih melalui kitab kecil seperti Safinah dan Taqrib. Ini kitab fiqih berdasarkan mazhab Syafi'i. Baru kemudian meningkat pada kitab syarh-nya seperti Kasyifatus Saja dan Fathul Qarib. Seiring naik tingkat, para santri akan mengenal kitab fiqih Syafi'i kelas menengah seperti Fathul Mu'in dan syarhnya seperti I'anah. Lanjut kemudian dengan kitab fiqih babon mazhab Syafi'i seperti Minhaj-nya Imam Nawawi. Dengan asumsi dasar-dasar fiqih Syafi'i sudah kokoh, para santri senior kemudian dikenalkan dengan keragaman pendapat di luar mazhab Syafi'i. Di bawah ini saya tuliskan sedikit catatan mengenai sejumlah kitab fiqih yang merangkum 4 mazhab fiqih Syafi'i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Di luar 4 mazhab juga ada mazhab lain seperti Zhahiri, Jafari, Zaidi dan mazhab lain yang sudah tak ada pengikutnya lagi seperti Abu Tsaur, Auza'i, Thabari. Di luar itu juga masih ada opini lain dari individual ulama yang kadang kala berbeda dengan pendapat mazhabnya. Namun sekarang kita fokuskan saja dulu ke-4 mazhab. Yang saya cantumkan ini adalah kitab yang merangkum 4 mazhab, bukan kitab yang ditulis oleh ulama mazhab tertentu yang kemudian mencantumkan dan mengomparasikannya dengan mazhab lain-kitab kategori ini misalnya al-Mughni Ibn Qudamah, al-Majmu' Imam Nawawi atau Hasyiah Ibn Abidin. Pertama, kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A'immah. Ini kitab fiqih yang merangkum pendapat dari keempat mazhab. Disusun berdasarkan bab fiqih standar. Tidak ada pencantuman dalil, diskusi maupun pandangan penulisnya. Ini hanya merangkum saja. Tidak lebih. Fungsinya hanya membantu kita mengetahui adakah perbedaan pendapat dalam satu kasus. Judul kitab ini menyifatkan pesan khusus bahwa perbedaan pendapat fiqih para imam mazhab itu adalah rahmat untuk umat. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa kitab al-Mizanul Kubra. Biasanya dicetak bareng dengan Kitab Rahmatul Ummah pada hamisy atau pinggir. Dalam kitab ini sudah ada penjelasan singkat terhadap pendapat yang dirangkum, bahkan Imam Sya'rani pengarang kitab al-Mizanul Kubra ini juga memaparkan pandangannya dengan memberikan pertimbangan mana pendapat fiqih yang ringan dan mana yang berat untuk dilaksanakan. Rasanya belum ada kitab terjemahnya dalam bahasa Indonesia CMIIW.Ketiga, kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd. Di pesantren modern seperti Gontor kitab ini dibaca oleh para santri senior, namun di pesantren salaf tidak semuanya mengajarkannya. Kitab ringkas 4 juz ini bukan saja merangkum perbedaan pendapat tapi juga menjelaskan sebab perselisihannya. Dalil juga dicantumkan hanya saja cukup terbatas. Saya rekomendasikan untuk membaca juga kitab Syarh-nya yang menjelaskan lebih detil mengenai dalil yang dicantumkan Ibn Rusyd. Maklum saja kitab ini memang sekedar permulaan saja bidayah. Anda tidak bisa mengklaim sebagai mujtahid hanya karena membaca kitab ini. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa kitab yang lebih luas dari Bidayatul Mujtahid adalah kitab al-Fiqh 'ala Mazahabil Arba'ah. Kitab 5 jilid ini disusun oleh Abdurrahman al-Jaziri. Kitab ini sudah ada di aplikasi android arab. Saya pernah lihat terjemahannya juga sudah ada di Gramedia. Pembahasannya lebih kengkap dari ketiga kitab di atas. Kelima, kitab al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebut-sebut sebagai yang paling lengkap merangkum opini 4 mazhab. Ditulis oleh kumpulan para ulama yang disponsori oleh pemerintah Kuwait. Terdiri dari 45 jilid yang pembahasannya berdasar alfabet arab. Jelas ini memudahkan untuk mencari topik pembahasan. Anda cukup mencari kata kunci dan melacaknya berdasarkan huruf hijaiyah. Tentu ini berbeda dengan kitab fiqih standar yang berdasarkan topik dan selalu dimulai dengan pembahasan masalah thaharah. Di bagian akhir kitab ensikopledia fiqih Kuwait ini memasukkan info mengenai nama dan bio singkat para pembahasannya setelah mengurai defenisi, kemudian menyebutkan persoalan pokok dalam entry fiqih yang sedang dibahas, setelah itu menyebutkan perbedaan pandangan para ulama yang diurai dengan sistematis berikut masing-masing dalilnya. Kelemahannya adalah tidak adanya diskusi maupun analisis perbandingan. Sedari awal ini disadari oleh penyusunnya dan itulah sebbanya mereka memilih judul mausu'ah atau tentu masih ada kitab fiqih muqarin perbandingan lainnya seperti karya Syekh Wahbah al-Zuhaili yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu yang isinya 9 jilid dengan jilid ke-10 berisi index dan maraji'. Syekh Wahbah al-Zuhaili juga menulis Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Qadhaya Al-Mu’ashirah 14 jilid. Syukur alhamdulillah kedua kitab fiqih modern ini sudah bisa diunduh di sedikit penjelasan mengenai kitab fiqih perbandingan mazhab. Karakter fiqih itu memang membuka ruang perbedaan pendapat. Jadi tidak perlu kafir-kafiran gegara beda pendapat. Gak perlu mem-bully ulama yang punya fatwa berbeda. Semua Imam Mazhab punya fatwa yang dianggap nyeleneh atau kontroversial. Sekadar menyebut beberapa contoh sajaImam Syafi'i bolehkan anak hasil zina dinikahi oleh "bapak" biologisnya karena nasab disandarkan ke ibunya. Apa kita berani bilang Imam Syafi'i itu Yai Zina? Memangnya kita siapa dibanding beliau?Imam Malik mengatakan anjing itu suci, tidak najis. Ini beda dengan mazhab lainnya. Apa berani kita nyinyiri beliau dengan membully mengatakan beliau itu Yai Anjing? Na' Abu Hanifah membolehkan minum nabidz dalam kadar tidak memabukkan. Mazhab lain mengharamkan. Apa kita berani komen beliau itu Yai Tukang Minum? Kacau kan!Imam Ahmad mengatakan batal wudhu sehabis makan daging unta, mazhab lain mengatakan tidak batal. Apa berani kita nyindir beliau itu Yai Unta? Ngawur banget kita!Imam Dawud al-Zhahiri bilang lemak/tulang babi tidak haram, yang haram cuma dagingnya. Mazhab lain membantah dengan keras. Tapi tidak ada ulama mazhab lain yang mencaci maki beliau dengan sebutan Yai Babi! Gak sampai ulama fiqih itu sebelum mengeluarkan fatwa akan memeriksa dalil dan kaidah usul al-fiqhnya dulu. Lha kita bisanya cuma nyinyir. Jumhur ulama juga belum tentu benar pendapatnya. Kebenaran dalam Islam ditentukan lewat kekuatan dalil bukan banyak-banyakan jumlah pengikut, apalagi pakai turun ke jalan dan teriak "bunuh-bunuh".Fatwa itu tidak mengikat. Sebagai contoh, kalau tidak cocok dengan fatwa Kiai Ma'ruf Amin, boleh pilih fatwa Gus Mus. Gak cocok dengan Gus Mus, pilih fatwa Mbah Moen. Mau pilih pendapat saya juga boleh, fiqih itu memang meniscayakan beda pendapat. Tak usah memaksakan pendapat. Semua ulama punya rujukan dan argumen. Semakin kita luaskan bacaan kita dengan membaca kitab fiqih perbandingan mazhab akan semakin toleran kita menyikapi keragaman pendapat. Yang suka memutlakkan pendapatnya atau pendapat ulama yang diikutinya itu bisa ditebak belum luas wawasan dan bacaannya. OK, jelas yah?!Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School Semuaimam dari lima madzhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) bersepakat bahwa niat adalah wajib di dalam wudlu’, dan tempat pelaksanaannya adalah ketika membasuh muka . Ada sedikit perbedaan dari madzhab Hanafi, yaitu apabila ada seseorang mandi dengan mengalirkan air ke seluruh tubuh termasuk anggota wudlu’ kemudian Olehsebab itu penulis tertarik dengan pemikiran dan dasar hukum para ulama khususnya pandangan madzhab Syafi'i dan Hanafi tentang kedudukan wali dalam satu akad pernikahan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam permasalahan wali adalah seperti yang telah dikatakan Imam Syafi'i bahwa wali ialah rukun pernikahan. Karenabarangnya masih bias antara ada dan tidak ada. Rukun Jual-Beli dalam Mazhab Syafi'i dirumuskan oleh para ahli Fiqih menjadi 3, yaitu; 1) Adanya penjual dan pembeli. Jual beli bisa terjadi apabila para pihak yang berkepentingan terhadap transaksi jual beli itu ada, yaitu adanya penjual dan pembeli. Semuamazhab yang empat menginginkan kebenaran. Mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi Rahimahumullah semuanya bertujuan mengikuti kebenaran sesuai petunjuk Alquran dan sunah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, sikap ta’ashub (fanatik terhadap mazhab tertentu -pent.) merupakan perbuatan yang tercela. l3XOC.